Israel dan Palestina dalam Al-Qur'an
Salam Hangat dari Blog info Keguruan Alifah Azzahra | Artikel ini di ambil dari blog http://nursalamtimu.blogspot.com Fase.
Nabi Muhamad Setelah Nabi Isa diangkat oleh Allah, era para nabi
“jalur” Israil berakhir. Posisi kenabian kemudian beralih dari “jalur” Israil
(Ya’qub) kepada “jalur” Ismail (Banu Ismail), yakni Muhammad saw. Masa
peralihan ini memakan waktu yang cukup lama (577 tahun), yakni sejak tahun 33 M
(ketika Palestina dalam kekuasaan bangsa Romawi) hingga tahun 610 M (permulaan
kenabian Muhamad saw. di Gua Hiro). Masa ini oleh para ulama disebut masa
fatroh.
Sejak
abad ke-7 mulailah terjadi kontak antara Islam dan Palestina. Pada masa ini
kawasan yang disebut Syam (Suriah) termasuk di dalamnya Palestina. Kontak awal
Palestina dengan Islam terjadi ketika Nabi Muhammad saw. mengadakan perjalanan
ilahiah (isra), yaitu perjalanan Nabi saw. pada malam hari dari Mekah ke
Yerusalem. Hal ini terdapat dalam surah al-Isra ayat 1 yang artinya: “Maha suci
Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam
ke Masjidil Aqsa...” Yang dimaksud Masjidil Aqsa tersebut bukanlah dalam
wujudnya seperti yang sekarang ada di Yerusalem, karena mesjid ini didirikan
pada tahun 705 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah.
Sedangkan Masjidil Aqsa yang dimaksud adalah masjid yang pada masa Nabi saw.
hanya merupakan haekal atau tempat yang mulia (Yerusalem) yang dibuat pada masa
Nabi Sulaiman as. Di tengah-tengah haekal itu terdapat sebuah batu besar
berwarna hitam yang disebut shakra’. Dengan menghadap ke arah batu inilah Nabi
saw. mengerjakan salat dua rakaat; kemudian dengan berlandaskan padanya beliau
dinaikkan oleh Allah swt. untuk mikraj.
Yahudi di
Jazirah Arab
Pada tahun 500 – 600 M, Bangsa Yahudi merembes ke
semenanjung Arabia, kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut
ketika terjadi perang antara Romawi dengan Persia. Pada umumnya mereka tinggal
di Yaman dan Yatsrib. Mengenai awal mula kedatangan mereka ke Jazirah Arabia
telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ahli sejarah: pertama,
pada zaman Dawud; kedua, pada zaman Raja Hazqiyal yang memerintah negeri
Yahudza dari tahun 717 hingga 690 SM; ketiga, hijrah besar-besaran kaum Yahudi
ke Jazirah Arabia terjadi pada abad pertama masehi setelah diusir oleh
orang-orang Romawi pada tahun 70 M. Ajaran-ajaran Yahudi di sana telah banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, begitu pula infiltrasi sebagian
prinsip-prinsip undang-undang Romawi. Sependek wawasan penulis, sejarah perihal
pergumulan Islam dengan Yahudi di Mekkah tidak sebanyak dan seseru di Yatsrib
paska hijrahnya Muslimin ke sana.
Di Mekkah nasib mereka seperti umat Kristiani,
jumlah mereka sedikit dan hanya terdiri dari budak. Barangkali penyebabnya
adalah adanya peraturan kala itu yang tidak mengizinkan seorang pun dari Ahli
Kitab memasuki Mekkah kecuali tenaga kerja yang tidak akan bicara tentang agama
atau kitabnya atau sistem penduduk Mekkah yang merujuk pada sistem kabilah,
maka tempat tinggal mereka pun jauh dari Ka’bah malah sudah berbatasan dengan
sahara. Kala itu pembicaraan seputar akan datangnya seorang Nabi di
tengah-tengah orang Arab waktu itu sudah cukup membuat heboh mereka. Saat
bulan-bulan suci tepatnya di Ukadz, daerak dekat Mekkah, sebagaimana kaum pagan
dan Kristen, kaum Yahudi bebas juga bebas menyerukan agama mereka. Besar
kemungkinan, sebagian dari mereka tinggal atau pernah singgah di Mekkah dalam
rangka perdagangan atau pekerjaan-pekerjaan lain dan juga menyaksikan
perseteruan Islam versus paganisme.
Ketika Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah ia telah
menemukan orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka
sebagai penghargaan terhadap mereka, Nabi Muhammad saw menyusun Piagam Madinah
yang mengatur hidup berdampingan antara umat Islam dan umat lain, termasuk umat
Yahudi. Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, sehingga
Alquran mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai orang yang mengkhianati
janji dan mereka diusir dari Madinah. Tahun 636-1916 mereka berada di bawah
kekuasaan Islam.
Kaum
Yahudi di Yatsrib terdiri dari tiga suku besar, yaitu Bani Nadhir, Bani Qaynuqa
dan Bani Quraydzah. Mereka menetap dan berkembang di sana beberapa abad lamanya
sebelum kedatangan Islam. Adapun Islam sudah tersebar pula di sana sebelum
Muhammad dan Muslimin hijrah ke kota itu. Sewaktu mereka tiba di sana, kaum
Yahudi dan musyrik menyambut kedatangan mereka dengan baik. Pihak Yahudi
berbuat demikian dengan dugaan mereka akan dapat membujuknya sekaligus
merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk
sebuah Jazirah Arabia, dengan demikian mereka dapat membendung penyebaran
Kristen. Selain mereka yakin lahan dakwah Muhammad tidak akan meliputi mereka,
mereka juga saat itu masih terpecah-belah yang memaksa mereka tidak
terburu-buru menyatakan permusuhannya terhadap Muslimin seraya menanti waktu
yang tepat untuk itu. Bertolak dari pertimbangan serupa, kaum musyrik sisa-sisa
suku Aus dan Khazraj berbuat serupa seperti kaum Yahudi. Di balik itu secara
diam-diam, sebagian kaum Yahudi sudah berniat jahat terhadap dakwah Islam sejak
awal mula kedatangan Muhammad di Yatsrib, beliau pun telah menyadarinya.
Di
Yatsrib (kemudian dirubah menjadi Madinah), Muhammad memulai fase perpolitikan
baru dengan tujuan meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi yang
sebelumnya belum pernah dikenal di seluruh wilayah Hijaz, yaitu dengan cara
mengadakan kesepakatan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan
persekutuan yang amat kuat. Beliau berbicara serta mendekati pemuka-pemuka
mereka dan membentuk suatu ikatan persahabatan dengan pertimbangan, bahwa
mereka adalah Ahli Kitab dan kaum monotheistis. Perjanjian ini berisi pengakuan
atas kebebasan beragama, harta beda benda mereka dengan syarat-syarat timbal
balik, kebebasan menyatakan pendapat, larangan berbuat kejahatan, bersama-sama
memerangi orang yang melanggarnya serta memerangi pihak yang menyerang Madinah
dan menanggung biaya peperangan itu atau lain sebagainya.
Secara
umum dapat digambarkan bahwa pertentangan antara Muslimin dengan kaum Yahudi di
Madinah dipicu faktor teologis yang sangat berpengaruh terhadap faktor politik.
Maka sudah sewajarnya, bila ayat-ayat al-Qur`an yang turun di Madinah lebih
terwarnai dengan pembeberan kemunafikan Yahudi serta bahayanya, perdebatan
dengan Ahli Kitab, menyingkap kriminalitas mereka dalam merubah kitab suci,
pensyariatan perang dan lain sebagainya. Walaupun demikian, Muhammad acapkali
tetap menghormati mereka serta keyakinannya, tidak pernah mengusik jalannya
ritual-ritual keagamaan Yahudi. Inilah ilustrasi ajaran Islam sesungguhnya
sebagai agama penebar kasih sayang dan anti segala tindak kekerasan dan
kelaliman, selama mereka tidak mengganggu Islam & kaum muslimin.
Fase.
Khulafa Rasyidun & Setelahnya
Setelah
Muhammad saw. wafat (tahun 632), ekspansi ke luar Semenanjung Arabia dilakukan
oleh para khalifahnya. Tanah Palestina ditaklukkan pada masa Abu Bakar
as-Siddiq (632-634). Amr bin As, setelah menaklukkan Gaza (Mesir), secara
berturut-turut menaklukkan Sabest (Samarra, Irak), Nablus, Ludd dan
daerah-daerah sekitarnya, Yupna, Awamas, Bait Jibrin (Arab Saudi), Yafa dan
Rafah. Abu Ubaidah di masa khalifah Umar bin Khattab (634-644) berhasil
menaklukkan Elia (sebutan Yerusalem di masa itu).
Penaklukan tentara Islam atas Palestina yang begitu
cepat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah tekanan para
penguasa Bizantium-Kristen terhadap bangsa Sami. Meskipun sama-sama beragama
Kristen, namun mereka memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada
bangsa Eropa. Hal ini memudahkan tentara Islam untuk memasuki negeri itu.
Selain itu, kedatangan tentara Islam dengan membawa prinsip toleransi beragama
telah mendorong penduduk Yerusalem untuk mengadakan perjanjian damai dengan
pihak Islam. Perjanjian itu dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab sendiri
dan patriarch (pimpinan) Yerusalem yang menyerahkan kunci kota itu kepadanya.
Prinsip ini telah menarik banyak penduduk untuk memeluk agama Islam. Sejak itu,
Palestina berada dalam kekuasaan Islam di bawah kegubernuran Mesir. Penduduknya
menikmati keamanan dan ketentraman, bahkan di masa pemerintahan Bani Umayyah
dan Bani Abbas banyak di antara mereka yang berpengaruh di dalam urusan
kenegaraan.
Ketika dunia Islam mengalami masa disintegrasi atau
terpecah belah (1000-1250), Palestina pernah berkali-kali menjadi arena Perang
Salib. Dengan jatuhnya Asia Kecil (Anatolia) ke tangan Dinasti Seljuk, umat
Kristen Eropa yang akan melakukan ziarah ke Palestina terhalang perjalanannya.
Untuk membuka kembali jalan itu Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen
Eropa di tahun 1095 supaya mengadakan perang suci terhadap Islam. Perang Salib
I terjadi antara tahun 1096 dan 1144. Perang Salib II antara tahun 1144 dan
1192. Perang Salib III antara tahun 1193 dan 1291. Namun, mereka tidak pernah
berhasil merebut Palestina dari kekuasaan Islam.
Selama 400 tahun Palestina berada di bahwa
kekuasaan Ottoman Turki. Hal ini dimulai pada tahun 1517 dalam rangka serangan
Sultan Salim I terhadap Mamluk Mesir dan berakhir pada tahun 1917/1918, ketika
Inggris merebut kawasan Bulan Sabit (Fertile Crescent ) dari
pendudukan orang-orang Usmani. Periode antara abad ke-18 dan ke-20 merupakan
masa perubahan-perubahan dramatis. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu: (1) Penetrasi (penerobosan) bangsa asing dan
keterlibatan mereka dalam urusan-urusan negeri membuat Palestina menjadi arena
persaingan di antara kekuatan-kekuatan Eropa; (2) pertambahan penduduk meledak
dengan emigrasi Yahudi-Eropa secara besar-besaran sebagai akibat penindasan
terhadap mereka di Eropa Timur; (3) menjadi pasar dunia akibat terjadinya
perkembangan ekonomi dan meluasnya hubungan antar negara; (4) perubahan dalam
peran pemerintahan dan struktur administrasi; (5) munculnya kekuatan-kekuatan
sosial baru; dan (6) terbukanya jalan bagi pengaruh-pengaruh kultural Barat.
Semua perubahan ini dan perkembangan kontemporer lainnya telah meninggalkan
bekas bagi konflik yang tak kunjung selesai sampai dewasa ini.
Dalam pada itu, sejak serangan berbagai bangsa
datang silih berganti terhadap Palestina, umat Yahudi meninggalkan negeri ini
dan mengadakan diaspora ( penyebaran) di berbagai negeri,
seperti di Maroko, Spayol, Rusia, dan Polandia. Watak keturunan terhadap bangsa
lain, sifat individualitas serta anggapan bahwa mereka merupakan bangsa
pilihan, menimbulkan kebencian terhadap bangsa ini. Akibatnya, mereka sering
dikejar-kejar oleh penduduk asli setempat. Keadaan seperti ini menimbulkan
kesadaran mereka untuk kembali ke tanah asal, Palestina. Kesadaran ini
melahirkan sebuah gerakan yang disebut Zionisme. Pendirinya adalah Theodore
Herzl yang pada tahun 1896 menerbitkan Der Judenstaat (The
Jewish State = Negara Yahudi). Buku ini berisi seruan kepada bangsa
Yahudi untuk membentuk sebuah negara Yahudi, yaitu Palestina.
Dalam Perang Dunia I (1914-1918) Turki berpihak
pada Jerman dan Austria-Hongaria melawan Sekutu. Inggris yang berada di pihak
Sekutu untuk merebut pengaruh bangsa Yahudi, melalui menteri luar negerinya,
Arthur James Balfour, mengeluarkan sebuah deklarasi (2 November 1917) dikenal
dengan “Deklarasi Balfour”. Deklarasi ini memberi dukungan bagi terbentuknya national
home bangsa Yahudi di Palestina, tanpa mengganggu hak-hak bangsa
non-Yahudi di daerah itu. Seusai perang dengan kekalahan di pihak Jerman,
wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Ottoman, kecuali Anatolia (Asia Kecil), dibagi
dalam daerah-daerah mandat. Palestina sendiri menjadi daerah mandat Inggris.
Bangsa-bangsa Arab menolak deklarasi dan permandatan itu.
Ketika Naziisme lahir di Eropa, gelombang pengungsi
Yahudi ke Palestina mekin besar dan dukungan terhadap negara Israel makin
meluas. Pada tahun 1931, jumlah penduduk Palestina mencapai 1.035.821 jiwa
dengan komposisi: 759.712 Muslim, 83.610 Yahudi, 91.398 Kristen, dan 10.101
jiwa dari kelompok-kelompok lain. Antara tahun 1936-1939 bangsa Arab Palestina
memberontak terhadap kekuasaan Inggris. Usul pembagian Palestina ke dalam
wilayah Arab dan Yahudi ditolaknya. Pada tahun 1939, Inggris membatasi
permukiman Yahudi di Palestina dan mengakhiri semua imigrasi bangsa Yahudi
dalam lima tahun. Pada tahun 1944, penduduk Palestina mencapai sekitar
1.764.000 jiwa dengan komposisi: 1.179.000 Arab, 554.000 Yahudi, 32.000 dari
unsur lain. Selama perang dunia II (1939-1945) bangsa Arab dan Yahudi Palestina
menghentikan perlawanan terhadap Inggris dan bergabung pada Sekutu. Pada akhir
perang, Nazi membunuh sekitar enam juta Yahudi Eropa, tetapi keterangan ini
dibantah oleh pihak Yahudi.
Inggris mengimbau PBB untuk menangani masalah
Palestina. Pada 29 November 1947, Rekomendasi Komisi Istimewa PBB untuk
Palestina membagi wilayah ini untuk menjadi negara Arab dan negara Yahudi.
Sementara itu, Yerusalem berada di bawah pengawasan internasional. Keputusan
sidang umum PBB ini diterima oleh bangsa Yahudi, tetapi ditolak oleh
bangsa-bangsa Arab. Perang Arab-Israel pecah. Pada bulan Mei 1948, setelah
Inggris mengundurkan diri dari Palestina, negara Israel diproklamasikan dengan
ibu kota Yerusalem. Bangsa Arab Palestina dibantu bangsa-bangsa Arab lainnya
menyerbu Israel. Gencetan senjata yang diprakarsai PBB terjadi pada tahun 1948
dan 1949 tanpa penandatanganan perjanjian damai.
Tahun 1949-1967 merupakan periode berkobarnya
kesadaran nasionalisme Palestina. Berbagai organisasi revolusioner dengan
berbagai ideologinya (seperti Nasserisme, Ba’sisme dan Marxisme) bermunculan.
Di antaranya yang terpenting ialah PLO (Palestina Liberation Organization),
didirikan pada konferensi puncak Arab tahun 1964, bertujuan mendirikan negara
Palestina bagi bangsa Arab. Pada Juni 1967, perang Arab-Israel pecah kembali
selama enam hari. Gencetan senjata mengakhiri perang itu, tetapi Israel
menduduki seluruh Palestina dan daerah-daerah di luar Palestina yang
didudukinya ketika gencetan senjata itu terjadi.
Perang Arab-Israel ke-4 pecah tahun 1973 dan
berakhir dengan gencetan senjata pada tahun 1974. Bangsa Arab dan PLO
terus-menerus melakukan serangan terhadap Israel. Sementara itu, dalam konflik
ini arus pengungsi Palestina dan masalah perbatasan telah melibatkan
negara-negara tetangga seperti; Mesir, Yordania, Suriah dan Libanon. Kunjungan
presiden Mesir, Anwar Sadat ke Israel pada tahun 1977 dan pengakuannya di
hadapan parlemen Israel atas hak hidup bangsa Israel tidak berhasil
menyelesaikan krisis. Perundingan Camp David pada September 1978 yang
mempertemukan Anwar Sadat, Menachem Begin (PM Israel), dan Jimmy Carter
(presiden Amerika Serikat), baru sedikit menyelesaikan masalah Sinai. Status
otonom daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza masih menjadi masalah besar.
Invasi
Israel terhadap Libanon tahun 1982 membuat hubungan Israel-Mesir menjadi buruk.
Hubungan itu putus setelah serangan Israel terhadap Beirut dan pembantaian
terhadap pengungsi di kamp Palestina oleh milisi Phalangi yang bersekutu dengan
Israel. Tahun 1980-an masa depan Tepi Barat Yordan semakin membingungkan. Ada
kemungkinan kawasan itu masuk wilayah Yordania, dianeksasi oleh Israel, menjadi
negara Palestina yang terpisah di Tepi Barat dan Jalur Gaza, menjadi kesatuan
bangsa Palestina yang diidentifikasikan dengan bangsa Yordania atau digabungkan
dengan Israel. Tahun 1982 presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, mengusulkan
resolusi perdamaian yang didasarkan atas aturan bahwa penentuan nasih bangsa
Palestina harus dicapai dalam hubungannya dengan Yordan. Peristiwa ini telah
mengakibatkan rekonsiliasi (pertemuan kembali) antara Raja Husein dan pemimpin
PLO, Yasser Arafat. Para penguasa Israel di Tepi Barat tidak mendapat simpati
dari mayoritas penduduk. Kemudian sebuah penelitian yang diadakan oleh penguasa
Israel pada awal musim panas 1986 menyimpulkan bahwa PLO akan memperoleh
kemenangan yang menentukan jika pemilihan diadakan di Jalur Gaza.
Pada bulan Februari 1990, PLO memproklamasikan
kemerdekaan bagi negara Palestina-Arab dan mendapat pengakuan dari sejumlah
negara, termasuk Indonesia. Peristiwa ini bukan akhir dari krisis politik Timur
Tengah. Kerusuhan dan penganiayaan oleh tentara Israel terhadap orang-orang
Arab terus berlangsung. Perdamaian Palestina dan Israel serta Arab dan Israel
diupayakan dengan mengadakan Konferensi Timur Tengah di Madrid (Oktober 1991)
dan diteruskan di Washington DC. Israel tidak hadir pada waktunya dan negara
sponsor pun (Amerika Serikat dan Uni Soviet) tidak dapat berbuat banyak.
Prioritas tersebut mendapat makna lebih penting sekitar 30.000 warga Israel
pendukung gerakan perdamaian berdemontrasi di Tel Aviv menuntut kompromi
wilayah. Unjuk rasa yang dipimpin oleh gerakan perdamaian Peace Now (Damai
Sekarang) itu mendesak PM Yitzhak Shamir memilih tangkai zaitun sebagai lambang
perdamaian dan mengulurkan tangan bagi perdamaian. Hal ini mendapat tantangan
dari kelompok yang menolak kompromi dan ingin terus menduduki wilayah Palestina
dan Arab yang diduduki Israel sejak perang 1967.
Pada
tanggal 13 September 1993 tercapai perdamaian Israel-Palestina di Washington
DC. Penandatanganan perjanjian perdamaian yang dilakukan oleh PM Yitzhak Rabin
dan Yasser Arafat disaksikan oleh presiden AS Bill Clinton. Perjanjian tersebut
antara lain berisi penyerahan pemerintahan atas wilayah Jericho dan Jalur Gaza
kepada Palestina. Kelangsungan perjanjian tersebut masih perlu diuji lebih
lanjut karena masih banyak persoalan yang mengganjal, seperti status jutaan
pengungsi Palestina dan wilayah timur kota suci Yerusalem yang masih diduduki
tentara zionis Israel.
Klaim-klaim
Yahudi atas Palestina
Penjajahan Yahudi atas Palestina didasari
klaim-klaim serta mitos-mitos relijius dan historis. Secara relijius mereka
menganggap bahwa Allah telah menjadikan Palestina sebagai “Tanah yang
dijanjikan”. Sedangkan relasi historis mereka dengan Palestina, adalah karena
mereka pernah berkuasa, bermukim disana dan punya hubungan psikis dan spiritual
dengan negeri ini.
Akan tetapi kaum muslimin tetap konsisten pada
pendirian bahwa Yahudi tidak berhak sama sekali atas negeri ini. Alasannya
adalah, pertama, dari sudut pandang agama, wilayah ini
diberikan pada bangsa Yahudi di saat mereka menjunjung tinggi bendera tauhid
dengan penuh konsisten di bawah kepemimpinan para rasul dan pemuka agama
mereka. Adapun apabila mereka melenceng dari kebenaran dan berupaya
mendistorsinya, bahkan membunuhi para Nabi serta membuat keonaran di muka bumi,
hilanglah keabsahan relijius yang mereka klaimkan. Yang berhak atas negeri ini
justru adalah kaum Muslimin, karena mereka adalah pewaris panji tauhid. Jadi,
persoalannya tidak terkait dengan bangsa, keturunan, dan nasionalisme. Namun
erat hubungannya dengan persoalan ikut tidaknya seseorang dengan ajaran tauhid.
Allah memberitahu Ibrahim bahwa keimanan dan kepemimpinannya tidak dapat
dipegang oleh mereka yang zalim dari keturunan dan anak cucunya. Karena, sekali
lagi, persoalannya terkait dengan konsistensi terhadap manhaj dan ajaran Allah.
Kalau persoalannya adalah masalah garis keturunan, maka Bani Israel tidak
berhak mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya yang berhak atas
kepemimpinan. Pasalnya, Ismail as dan keturunannya pun berhak atas janji yang
diberikan pada Ibrahim.
Alasan kedua, menanggapi klaim
dari sisi historis, maka sesungguhnya pemerintahan Bani Israel di Palestina sangatlah
singkat yang tidak lebih dari 4 abad di sebagian wilayah Palestina dan bukan
seluruhnya. Sedangkan pemerintahan Islam berlangsung disana selama 12 abad
(636-1917 M) yang sempat dijeda oleh peperangan Salib untuk beberapa masa.
Selain itu sebagian besar bangsa Yahudi telah meninggalkan wilayah Palestina,
dan terputus kontak mereka dengan negeri ini selama 18 abad (sejak 135 M hinga
abad 20), sedangkan penduduk pribumi asli Palestina asli—yang kemudian masuk
Islam—belum pernah meninggalkan negeri ini selama 4500 tahun yang lalu hingga
tiba waktu pendeportasian besar-besaran yang dilakukan para kriminal Zionis
pada tahun 1948 M.
Satu hal lagi, sesungguhnya lebih dari 80% Yahudi di zaman ini tidak jelas
hubungannya sama sekali dengan Bani Israel, baik keturunan maupun sejarah. Hal
itu karena sebagian besar Yahudi kontemporer adalah bangsa Yahudi Khazar yang
berasal dari kabilah Tatar, Turki kuno yang berdiam di wilayah Kokaz dataran
tinggi Georgia (selatan Rusia). Mereka berkonversi dengan Yahudi pada abad 8 SM
di bawah pimpinan rajanya Bolan.Tahun 740 M saat kerajaan mereka runtuh,
tersebarlah mereka ke berbagai penjuru Rusia dan timur Eropa. Mereka kemudian
disebut Yahudi Askhenazi. Golongan Yahudi ini adalah penganut sekte sesat
Qabalisme. Golongan yang lain adalah Yahudi Sephardim, berasal dari kerajaan
Yahuda yang berpegang pada Taurat Musa, saat ini mereka paling menderita akibat
berkembangnya gerakan zionis. Mereka akhirnya terusir dari kampung halamannya
di berbagai negara Arab. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga
negara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi
yang menguasai politik dan ekonomi negara.
Catatan :
Silahkan tambahkan jika ingin menambahkan sebuah Artikel Sejarah di atas dan cantumkan sumber artikel yang akan di tambahkan, dan Jika pada artikel sejarah di atas ada kekeliruan, silahkan masukan koreksian atas kekeliruan tersebut pada kotak komentar yang sudah disediakan.
Posting Komentar untuk "Israel dan Palestina dalam Al-Qur'an"